Kamis, 01 November 2007

1 ONS BUKAN 100 GRAM

1 ONS BUKAN 100 GRAM tetapi 28,35 gram
PENDIDIKAN YANG MENJADI BOOMERANG
Sumber: http://www.freelist s.org/archives/ mahasathi/ 04-2005/msg00088 .html
Seorang teman saya yang bekerja pada sebuah perusahaan asing, di PHK akhir tahun lalu. Penyebabnya adalah kesalahan menerapkan dosis pengolahan limbah, yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kesalahan ini terkuak ketika seorang pakar limbah dari suatu negara Eropa mengawasi secara langsung proses pengolahan limbah yang selama itu dianggap selalu gagal. Pasalnya adalah, takaran timbang yang dipakai dalam buku petunjuknya menggunakan satuan pound dan ounce.
Kesalahan fatal muncul karena yang bersangkutan mengartikan 1 pound =3D 0,5 kg. dan 1 ounce (ons) =3D 100 gram, sesuai pelajaran yang ia terima dari sekolah. Sebelum PHK dijatuhkan, teman saya diberi tenggang waktu 7 hari untuk membela diri dgn. cara menunjukkan acuan ilmiah yang menyatakan 1 ounce (ons) =3D 100 g. Usaha maksimum yang dilakukan hanya bisa menunjukkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengartikan ons (bukan ditulis ounce) adalah satuan berat senilai 1/10 kilogram. Acuan lain termasuk tabel-tabel konversi yang berlaku sah atau dikenal secara internasional tidak bisa ditemukan.

SALAH KAPRAH YANG TURUN-TEMURUN
Prihatin dan penasaran atas kasus diatas, saya mencoba menanyakan hal ini kepada lembaga yang paling berwenang atas sistem takar-timbang dan ukur di Indonesia, yaitu Direktorat Metrologi. Ternyata pihak Dir. Metrologi-pun telah lama melarang pemakaian satuan ons untuk ekivalen 100 gram. Mereka justru mengharuskan pemakaian satuan yang termasuk dalam Sistem Internasional (metrik) yang diberlakukan resmi di Indonesia. Untuk ukuran berat, satuannya adalah gram dan kelipatannya. Satuan Ons bukanlah bagian dari sistem metrik ini dan untuk menghilangkan kebiasaan memakai satuan ons ini, Direktorat Metrologi sejak lama telah memusnahkan semua anak timbangan (bandul atau timbal) yang bertulisan "ons" dan "pound".
Lepas dari adanya kebiasaan kita mengatakan 1 ons =3D 100 gram dan 1 pound =3D 500 gram, ternyata tidak pernah ada acuan sistem takar-timbang legal atau pengakuan internasional atas satuan ons yang nilainya setara dengan 100 gram. Dan dalam sistem timbangan legal yang diakui dunia internasional, tidak pernah dikenal adanya satuan ONS khusus Indonesia. Jadi, hal ini adalah suatu kesalahan yang diwariskan turun-temurun. Sampai kapan mau dipertahankan?

BAGAIMANA KESALAHAN DIAJARKAN SECARA RESMI?
Saya sendiri pernah menerima pengajaran salah ini ketika masih di bangku sekolah dasar. Namun, ketika saya memasuki dunia kerja nyata, kebiasaan salah yang nyata-nyata diajarkan itu harus dibuang jauh karena akan menyesatkan.
Beberapa sekolah telah saya datangi untuk melihat sejauh mana penyadaran akan penggunaan sistem takar-timbang yang benar dan sah dikemas dalam materi pelajaran secara benar, dan bagaimana para murid (anak-anak kita) menerapkan dalam hidup sehari-hari. Sungguh memprihatinkan. Semua sekolah mengajarkan bahwa 1 ons =3D 100 gram dan 1 pound =3D 500 gram, dan anak-anak kita pun menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari. "Racun" ini sudah tertanam didalam otak anak kita sejak usia dini.
Dari para guru, saya mendapatkan penjelasan bahwa semua buku pegangan yang diwajibkan atau disarankan oleh Departemen Pendidikan Indonesia mengajarkan seperti itu. Karena itu, tidaklah mungkin bagi para guru untuk melakukan koreksi selama Dep. Pendidikan belum merubah atau memberikan petunjuk resmi.

TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Maka, bila terjadi kasus-kasus serupa diatas, Departemen Pendidikan kita jangan lepas tangan. Tunjukkanlah kepada masyarakat kita terutama kepada para guru yang mengajarkan kesalahan ini, salah satu alasannya agar tidak menjadi beban psikologis bagi mereka: acuan sistem timbang legal yang mana yang pernah diakui / diberlakukan secara internasional, yang menyatakan bahwa: 1 ons adalah 100 gram, 1 pound adalah 500 gram?
Kalau Dep. Pendidikan tidak bisa menunjukkan acuannya, mengapa hal ini diajarkan secara resmi di sekolah sampai sekarang? Pernahkan Dep. Pendidikan menelusuri, dinegara mana saja selain Indonesia berlaku konversi 1 ons =3D 100 gram dan 1 pound =3D 500 gram? Patut dipertanyakan pula, bagaimana tanggung jawab para penerbit buku pegangan sekolah yang melestarikan kesalahan ini?
Kalau Dep. Pendidikan mau mempertahankan satuan ons yang keliru ini, sementara pemerintah sendiri melalui Direktorat Metrologi melarang pemakaian satuan "ons" dalam transaksi legal, maka konsekuensinya ialah harus dibuat sistem baru timbangan Indonesia (versi Depdiknas). Sistem baru inipun harus diakui lebih dulu oleh dunia internasional sebelum diajarkan kepada anak-anak. Perlukah adanya sistem timbangan Indonesia yang konversinya adalah 1 ons (Depdiknas) =3D 100 gram dan 1 pound (Depdiknas) =3D 500 gram? Bagaimana "Ons dan Pound (Depdiknas)" ini dimasukkan dalam sistem metrik yang sudah baku di seluruh dunia? Siapa yang mau pakai?

HENTIKAN SEGERA KESALAHAN INI
Contoh kasus diatas hanyalah satu diantara sekian banyak problema yang merupakan akibat atau korban kesalahan pendidikan. Saya yakin masih banyak kasus-kasus senada yang terjadi, tetapi tidak kita dengar. Salah satu contoh kecil ialah, banyak sekali ibu-ibu yang mempraktekkan resep kue dari buku luar negeri tidak berhasil tanpa diketahui dimana kesalahannya.
Karena ini kesalahan pendidikan, masalah ini sebenarnya merupakan masalah nasional pendidikan kita yang mau tidak mau harus segera dihentikan.
Departemen Pendidikan tidak perlu malu dan basa-basi diplomatis mengenai hal ini. Mari kita pikirkan dampaknya bagi masa depan anak-anak Indonesia. Berikan teladan kepada bangsa ini untuk tidak malu memperbaiki kesalahan.
Sekalipun hanya untuk pelajaran di sekolah, dalam hal Takar-Timbang- Ukur, Dep. Pendidikan tidak memiliki supremasi sedikitpun terhadap Direktorat Metrologi sebagai lembaga yang paling berwenang di Indonesia. Mari kita ikuti satu acuan saja, yaitu Direktorat Metrologi.
Era Globalisasi tidak mungkin kita hindari, dan karena itu anak-anak kita harus dipersiapkan dengan benar. Benar dalam arti landasannya, prosesnya, materinya maupun arah pendidikannya. Mengejar ketertinggalan dalam hal kualitas SDM negara tetangga saja sudah merupakan upaya yang sangat berat. Janganlah malah diperberat dengan pelajaran sampah yang justru bakal menyesatkan. Didiklah anak-anak kita untuk mengenal dan mengikuti aturan dan standar yang berlaku SAH dan DIAKUI secara internasional, bukan hanya yang rekayasa lokal saja. Jangan ada lagi korban akibat pendidikan yang salah. Kita lihat yang nyata saja, berapa banyak TKI diluar negeri yang berarti harus mengikuti acuan yang berlaku secara internasional.
Anak-anak kita memiliki HAK untuk mendapatkan pendidikan yang benar sebagai upaya mempersiapkan diri menyongsong masa depannya yang akan penuh dengan tantangan berat.

ACUAN MANA YANG BENAR?
Banyak sekali literatur, khususnya yang dipakai dalam dunia tehnik, dan juga ensiklopedi ternama seperti Britannica, Oxford, dll. (maaf, ini bukan promosi) menyajikan tabel-tabel konversi yang tidak perlu diragukan lagi.
Selain pada buku literatur, tabel-tabel konversi semacam itu dapat dijumpai dengan mudah di-dalam buku harian / diary/agenda yang biasanya diberikan oleh toko atau produsen suatu produk sebagai sarana promosi.
Salah satu konversi untuk satuan berat yang umum dipakai SAH secara internasional adalah sistem avoirdupois / avdp. (baca : averdupoiz).
1 ounce/ons/onza = 28,35 gram (bukan 100 g.)
1 pound = 453 gram (bukan 500 g.)
1 pound = 16 ounce (bukan 5 ons)
Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau seorang apoteker meracik resep obat yang seharusnya hanya diberi 28 gram, namun diberi 100 gram. Apakah kesalahan semacam ini bisa di kategorikan sebagai malapraktek? Pelajarannya memang begitu, kalau murid tidak mengerti, dihukum! Jadi, kalau malapraktik, logikanya adalah tanggung jawab yang mengajarkan.
(Ini hanya gambaran / ilustrasi salah satu akibat yang bisa ditimbulkan, bukan kejadian sebenarnya, tetapi dalam bidang lain banyak sekali terjadi)
************ ****
Wassalam

Ana. R
Dit. Konservasi dan TNL
DJ. KP3K

Senin, 29 Oktober 2007

silaturahim keluarga


jika dilihat gambar ini..... tepatnya mungkin kira-kira 2 (dua) tahun yang lalu... saat una'ganung masih berada di bogor.... kala itu sji dan una'ganung sama-sama masih mempunyai 1 (satu) putera. Ohim.... kala itu, si jabang bayinya belon nongol...
silaturahim seperti ini musti digiatkan kembali diantara komunitas PSL....
ada yang punya ide...?
monggo...

memperingati sumpah PEMUDA

Belum TUA belum BOLEH BICARA....... tanya kenapa? (... sebuah iklan salah satu rokok terkenal di Indonesia)
kini...
saatnya yang MUDA bangkit... bersatu berbuat untuk INDONESIA...

(... memperingati HARI SUMPAH PEMUDA..... mengenang sumpah pemuda-pemudi INDONESIA 28 Oktober 1928)

Jumat, 26 Oktober 2007

Penyakit Kanker Sudah Tidak Berbahaya Lagi

Kanker tidak lagi mematikan. Para penderita kanker di Indonesia dapat
memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman
"KELADI TIKUS" (Typhonium Flagelliforme/Rodent Tuber) sebagai tanaman
obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan
berbagai penyakit berat lain.

Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya
tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. "Tanaman
ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa," kata Drs.Patoppoi Pasau,
orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia.

Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Dr Chris
K.H.Teo,Dip Agric (M), BSc Agric (Hons)(M), MS, PhD dari Universiti
Sains Malaysia dan juga pendiri Cancer Care Penang, Malaysia. Lembaga

perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan
pasien dari Malaysia, Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru,
Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di
Pekalongan,Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker
payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah
kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus
menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk
menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut.
"Sebelum menjalani kemoterapi,dokter mengatakan agar kami
menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan
kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,"
jelas Patoppoi.

Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus
berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan
informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati
kanker. "Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysia untuk membeli
teh tersebut,"
ujar Patoppoi yang juga ahli biologi. Ketika sedang berada di sebuah
toko obat di Malaysia, secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku
mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan
Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996.
"Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut.
Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi,
tapi langsung pulang ke Indonesia," kenang Patoppoi sambil tersenyum.
Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu.

Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat
Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman
tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat,
familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya. Ternyata,
mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman
tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di
Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.

Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa
tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. "Dr Teo mengatakan agar
tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat," lanjut Patoppoi.
Akhirnya, dengan tekad bulat dan do'a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai
memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku
tersebut
untuk diminum sebagai obat. Kemudian Patoppoi menghubungi putranya,
Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman
tersebut.
"Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di
pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut
tumbuh liar di pinggir
sungai," kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.

Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami
penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti
rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. "Bahkan nafsu makan
ibu saya pun kembali normal," lanjut Boni.

Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani
pemeriksaan kankernya. "Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh
mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta," kata Patoppoi. Para
dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada
isterinya. "Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan
dosis kemoterapi kepada kami," lanjut Patoppoi.

Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter
pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar
mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak
mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan
pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali
diundur menjadi enam bulan sekali."Tetapi karena sesuatu hal, para
dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan
tanaman sebagai pengobatan alternatif," sambung Boni sambil tertawa.

Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan
keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi
Dr.Teo melalui fax untuk menginformasikan bahwa tanaman tersebut banyak
terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan
tanaman
ini di Indonesia.
Kemudian Dr. Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu
apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh," sambung
Patoppoi.

Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dan disebar-luaskan di Indonesia, Dr. Teo menganjurkan
agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha
nyata membantu penderita kanker di Indonesia.

Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai
meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa
Pos,Patoppoi sempat tercengang. Data-data rinci mengenai gejala,
penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan
salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan
di buku tersebut. Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil
menyembuhkan
pasien tersebut.
"Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,"
ujar Boni.
Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari,
bisa sekitar 30 telepon yang masuk. "Sampai saat ini, sudah ada sekitar
300 orang yang datang ke sini," lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH.
Khamdani,Buduran Sidoarjo.

Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim
stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi.
Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku
dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos.
Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien
tersebut datang lag dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi,
karena hasil
pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi
berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno,
Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang, Malaysia. Di kantor Pusat
Cancer Care Penang, Malaysia, Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut

mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia.
Ternyata saat Patoppoi mendapat buku "Cancer, Yet They Live" edisi
revisi tahun 1999,
fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman
isterinya dalam
usahanya berperang melawan kanker.

Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan
perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya. Maka secara resmi,
Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer

Care Indonesia, yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care,
yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta, telp. 021-4894745, dan di
Buduran, Sidoarjo.

Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut
secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus
dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai
tananaman lainnya dengan dosis tertentu.
"Dosis yang diperlukan tergantung penyakit yang diderita," kata Boni.

Untuk mendapatkan obat tersebut, penderita harus mengisi formulir yang
menanyakan keadaan dan gejala penderita dan akan dikirimkan melalui fax
ke Dr. Teo. "Formulir tersebut dapat diisi disini, dan akan kami
fax-kan. Kemudian Dr. Teo sendiri yang akan mengirimkan resep sekaligus
obatnya, dengan harga langsung dari Malaysia, sekitar 40-60 Ringgit
Malaysia," lanjut Boni.
"Jadi pasien hanya membayar biaya fax dan obat, kami tidak menarik
keuntungan, malahan untuk yang kurang mampu, Dr.Teo bisa memberikan
perpanjangan waktu pembayaran." tambahnya.

Sebenarnya pengobatan ini juga didukung dan sedang dicoba oleh salah
satu dokter senior di Surabaya, pada pasiennya yang mengidap kanker
ginjal. Ada dua pasien yang sedang dirawat dokter yang pernah menjabat
sebagai direktur salah satu rumah sakit terbesar di Surabaya ini. Pasien
pertama yang mengidap kanker rahim tidak sempat diberi pengobatan dengan
keladi tikus, karena telah ditangani oleh rekan-rekan dokter yang telah
memiliki reputasi.
Setelah menjalani kemoterapi dan radiologi, pasien tersebut mengalami
kerontokan rambut, kulit rusak dan gatal, dan selalu muntah.
Tetapi pada pasien kedua yang mengidap kanker ginjal, dokter ini
menanganinya sendiri dan juga memberikan pil keladi tikus untuk membantu
proses penyembuhan kemoterapi.

Pada pasien kedua ini, tidak ditemui berbagai efek yang dialami
penderita pertama, bahkan pasien tersebut kelihatan normal. Tetapi
dokter ini menolak untuk diekspos karena menurutnya, pengobatan ini
belum
resmi diteliti di Indonesia.
Menurutnya, jika rekan-rekannya mengetahui bahwa dia memakai pengobatan
alternatif, mereka akan memberikan predikat sebagai "ter-kun" atau
dokter-dukun.
"Disinilah gap yang terbuka antara pengobatan konvensional dan modern,"
kata dokter tersebut.

Banyak hal menarik yang dialami Boni selama menerima dan memberikan
bantuan kepada berbagai pasien. Bahkan ada pecandu berat putaw dan
sabu-sabu di Surabaya, yang pada akhirnya pecandu tersebut mendapat
kanker paru-paru. Setelah mendapat vonis kanker paru-paru stadium III,
pasien tersebut mengkonsumsi pil dan teh dari Cancer Care. Hasilnya
cukup
mengejutkan, karena ternyata obat tersebut dapat mengeluarkan racun
narkoba dari peredaran darah penderita dan mengatasi ketergantungan pada
narkoba tersebut.
"Tapi, jika pecandu sudah bisa menetralisir racun dengan keladi tikus,
dia tidak boleh memakai narkoba lagi, karena pasti akan timbul
resistensi.
Jadi jangan seperti kebo, habis mandi berkubang lagi," sambung Boni
sambil
tertawa.

Juga ada pengalaman pasien yang meraung-raung kesakitan akibat serangan
kanker yang menggerogotinya, karena obat penawar rasa sakit sudah tidak
mempan lagi. Setelah diberi minum sari keladi tikus, beberapa saat
kemudian pasien tersebut tenang dan tidak lagi merasa kesakitan.

Menurut data Cancer Care Malaysia, berbagai penyakit yang telah
disembuhkan adalah berbagai kanker dan penyakit berat seperti kanker
payudara, paru-paru, usus besar-rectum, liver, prostat, ginjal, leher
rahim, tenggorokan, tulang, otak, limpa, leukemia, empedu, pankreas,
dan hepatitis.
Jadi diharapkan agar hasil penelitian yang menghabiskan milyaran
Ringgit Malaysia selama 5 tahun dapat benar-benar berguna bagi dunia
kesehatan.

Bagi teman-teman yang memerlukan informasi lebih lanjut sehubungan
dengan artikel "Obat Kanker" bisa menghubungi perwakilan lembaga sosial
"Cancer Care Indonesia" beralamat di Jl. Kayu Putih 4 no.5 Jakarta,
telp : 021-4894745

Rabu, 24 Oktober 2007

PSL 2000

blog ini dipersiapkan untuk posting masalah-masalah lingkungan hidup.....
bagi teman-teman PSL